Kamis, 18 April 2013

Pak Sakib Suamiku Sementara (Bagian I)

Pak Sakib Suamiku Sementara (Bagian I)

Minggu pagi itu Nabila ditelpon Dicki tentang rencana mereka saat makan malam. Dicki telah mendapatkan ide untuk memuluskan rencananya rujuk kembali dengan Nabila. Rencananya memang menanggung resiko, tapi karena besarnya hasrat dan keinginannya maka segala resiko akan ia lakukan.Dalam pembicaraan di telpon Dicki minta Nabila untuk merundingkan rencananya.

Nabila harus menikah dulu dengan seseorang untuk sementara waktu bisa beberapa hari agar talaq tiga yang ia jatuhkan bisa terhapus.Yah semua itu tergantung dari kesediaan Nabila menjalaninya,dan restu dari kedua orangtua mereka.

Ia kaget dan sedikit keberatan dengan rencana Dicki, tapi karena Dicki dapat meyakinkan kebimbangan, ia pun menyetujui rencana mantan suaminya. Kini mereka tinggal menunggu pendapat orangtuanya.

Pada suatu kesempatan Nabila membicarakan tentang rencananya bersama Dicki pada ibunya. Melalui kesepakatan dengan ayahnya,akhirnya keduanya menyetujuinya. Tapi yang menjadi kendala adalah menentukan orang yang mau menikahi Nabila untuk sementara meski paling singkat seminggu. Dan orang yang menjadi syarat dari ayah Nabila adalah harus sudah dikenal keluarga mereka agar rahasia itu terjaga dan bisa menekan orang itu dengan syarat tak akan menyentuh Nabila jika sudah syah sebagai suami istri. Setelah berusaha mencari sosok orang yang tepat tak jua mendapatkan hasil karena berbagai faktor dan resiko yang mungkin terjadi, akhirnya ayah Nabila menemukan sosok yang ia butuhkan. Laki laki itu adalah Pak Sakib, pembantunya yang menunggui bungalownya di desa. Pak Sakib orang yang tepat untuk itu, pikir ayah Nabila.

Sebagai pembantu yang telah ikut keluarganya puluhan tahun Pak Sakib tentu akan selalu menuruti keinginan juragannya.Apalagi selama ini Pak Sakib amat setia dan tak pernah punya kesalahan. Selain itu laki laki berusia 60 tahun itu agak pincang dan tak akan membuat Nabila jatuh cinta padanya, apalagi mana mungkin Pak Sakib masih memiliki naluri seksual yang tinggi.

Jadi jika Pak Sakib yang akan menikahi Nabila, maka resiko amat kecil dibanding laki laki muda dan masih memiliki libido tinggi. Orang tua Nabila sudah memperhitungkan hal hal yang kecil ini dan ia tak mau dicurangi, apalagi sebagai orang terpandang dan disegani mereka amat perhitungan dalam hal hal yang paling kecil sekalipun.

Secara personal akhirnya ayah Nabila memanggil Pak Sakib untuk membicarakannya. Sebagai pembantu yang telah mengabdi pada keluarga itu, Pak Sakib dan istrinya tak kuasa menolaknya.

Semua tahapan pernikahan berjalan lancar.Mak Sanah istri Pak Sakib hanya sibuk di dapur menyiapkan santapan untuk para yang hadir.

Tak ada mimik cemburu atau marah pada Pak Sakib. Mak Sanah tahu ini hanya sementara. Pernikahan telah selesai dan penghulu sudah pulang kerumahnya, begitu juga dengan ayah ibu Nabila kembali ke kota karena ada urusan penting yang tak bisa mereka tinggalkan.

Nabila telah resmi menjadi istri Pak Sakib dan sore itu ia telah kembali ke kebun untuk melanjutkan pekerjaannya. Yang tinggal di bungalow hanya Nabila dan Dicki. Dicki sengaja kembali agak lambat karena ingin bersama Nabila dan berbincang tentang rencana mereka setelah semua ini terlaksana, walau saat itu Nabila berstatus istri Pak Sakib.

Tak lama kemudian, Dicki pun kembali ke kota karena orangtuanya sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Yang tinggal di bungalau senja itu hanya Nabila dan Mak Sanah. Pak Sakib belum kembali dari kebun.

Bungalow tinggal dua orang istri Pak Sakib yaitu Mak Sanah dan Nabila yang baru dinikahinya. Menjelang malam akhirnya Pak Sakib sampai di bungalow, setelah sebelumnya ia mandi membersihkan tubuhnya sepulang dari kebun.

Mak Sanah kemudian memanggil Nabila untuk makan malam. Mereka bertiga makan malam semeja. Tak ada kesan canggung atau berubah dalam keadaan saat itu.Bagi Mak Sanah ia telah menganggap Nabila sebagai anaknya,sebab dulu sering ia gendong dan bawa berkeliling kebun.

Kini Nabila yang dulu masih tetap sama dengan Nabila yang sekarang.Seorang gadis yang sopan,hormat dan lemah lembut. Setelah membantu Mak Sanah membereskan meja makan, Nabila masuk ke ruang tengah untuk beristirahat sejenak.

Sambil duduk dan menyaksikan acara televisi Nabila merasakan matanya mulai ngantuk. Televisi ia matikan, sambil mencari Mak Sanah tampak olehnya Pak Sakib dan Mak Sanah sedang menyusun dan menata alat alat rumah tangga yang tadi siang digunakan. Nabila memberitahu Pak Sakib bahwa ia akan tidur duluan dan jika mau ke kamar pintu tak di kunci. Pak Sakib dan Mak Sanah mengiyakan kata katanya.

Mak Sanah tak merasa cemburu sedikitpun meski suaminya untuk beberapa malam selanjutnya akan tidur sekamar dengan Nabila. Mak Sanah percaya suaminya tak akan mampu berbuat yang melanggar kesepakatan dengan orang tua Nabila, apalagi Nabila sudah mereka anggap anak sendiri. Selain itu Mak Sanah tahu betul bahwa bahwa Pak Sakib sudah tak memiliki hasrat lagi kepada wanita seperti halnya Mak sanah sudah tak berhasrat untuk bermesra mesraan.

Pak Sakib dan Mak Minah kembali ke kamar untuk beristirahat. Seperti biasa Pak Sakib masuk ke kamar bersama Mak Sanah, namun Mak Sanah ingatkan Pak Sakib bahwa harus menemani Nabila di kamarnya.

Dengan langkah yang terseok seok karena kakinya yang pincang, Pak Sakib masuk kamar Nabila. Dalam kamar ia melihat Nabila sudah tergolek tidur di atas ranjang yang cukup luas dan bersih itu. Pintu kamar ia tutup dan berjalan ke arah ranjang Nabila.

Ia lihat Nabila tertidur sangat lelap mungkin karena kecapaian siang tadi. Pak Sakib meraih selimut yang berada di kaki Nabila dan menutupkan ke tubuh yang terbaring. Hawa dingin malam amat menusuk tulang. Pak Sakib meraih bantal yang terletak di samping Nabila dan meletakannya di lantai sudah terbentang karpet. Laki laki tua itu lalu merebahkan tubuhnya di karpet itu bersiap untuk tidur.

Tengah malam Nabila terbangun karena ia kebelet buang air kecil. Ia turun dari ranjangnya dan berjalan ke kamar mandi yang bearada di kamarnya. Sekembali dari kamar mandi ia menyaksikan Pak Sakib yang tertidur di lantai beralaskan karpet. Pak Sakib meringkuk kedinginan hanya berselimutkan sarung.

Nabila merasa kasihan melihat laki laki tua itu. Sebelum merebahkan tubuhnya di ranjangnya, ia memperhatikan wajah laki laki tua yang tertidur di lantai kamarnya. Tampak gurat wajah keriput Pak Sakib karena dimakan usia, juga kakinya yang pincang itu. Dalam hati Nabila merenungkan bahwa begitu besar pengorbanan laki laki itu yang mau menjadi suami sementaranya.

Orang kecil seperti Pak Sakib dan Mak Sanah tak akan mengharap apa apa, pikiran mereka terlalu sederhana dan lurus, tidak seperti orang orang di kota yang penuh dengan muslihat. Merasa kasihan melihat Pak Sakib yang tidur kedinginan, sebagai wanita yang amat hormat pada orang tua dan rasa kemanusiaannya yang amat tinggi, ia bangunkan Pak Sakib untuk tidur di atas ranjangnya bersamanya. Nabila tak merasakan perbedaan di antara mereka, toh Pak Sakib sekeluarga sudah ia anggap keluarganya dan kini adalah suaminya sendiri.
"Pak….pak…..bangun, pindah saja ke atas kasur pak….!" sahut Nabila dengan perlahan membangunkan laki laki tua itu.
Merasakan tubuhnya dibangunkan secara reflek Pak Sakib terbangun.
"ada apa …. neng..?" jawab Pak Sakib mengusap matanya yang masih ngantuk.
"Bapak tidur saja di samping Neng, di lantai ini dingin Pak" terang Nabila.
"Tidak apa,,,Neng,bapak biasa tidur di lantai koq…,"jawab Pak Sakib lagi.

“Neng,,,gak suka melihat bapak seperti ini dilantai,sekarang naiklah ketempat tidur,!"paksa Nabila. Pak Sakib tak bisa membantah lagi,dengan terpaksa akhirnya membaringkan dirinya di ranjang berdampingan dengan Nabila.

Malam itu Nabila dan Pak Sakib tidur seranjang hingga subuhnya Pak Sakib bangun lebih dulu. Subuh itu ia keluar kamar dan ke dapur untuk memasak. Paginya Nabila terbangun dengan tubuh amat segar karena jendela kamarnya sudah dibuka Mak Sanah. Di samping meja riasnya sudah terhidang segelas susu dan roti bakar. Nabila bangun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi.Ia cuci muka dan gosok gigi dan setelahnya keluar kamar mandi untuk minum susu juga makan roti bakar. Sambil menyantap roti ia melihat pemandangan yang indah dari jendela kamarnya.

Pagi itu masih terlihat embun yang menyelimuti perkebunan yang berada tak jauh dari rumah peristirahatan itu. Nabila tergerak ingin ke sana, apalagi udara masih bersih dan segar. Tanpa mandi dulu dan hanya menyemprotkan sedikit parfum, Nabila meraih sweaternya. Tak lupa minta izin Mak Sanah, ia berjalan ke perkebunan milik keluarganya. Sampai diperkebunan ia melihat para wanita pekerja sibuk menyortir daun teh. Para perkerja asik dengan pekerjaannya. Saat ia asik melihat pekerja, datanglah Pak Sakib.

"Dengan siapa kemari Neng?" Sapa Pak Sakib.
"Sendirian Pak….Mak Sanah sedang masak ," jawab Nabila.
Pak Sakib mengajak Nabila melihat lihat ke gudang perkebunan. Sepanjang perjalanan Pak Sakib dan Nabila sibuk menjawab sapaan pegawai perkebunan. Puas berjalan jalan mengitari perkebunan, Pak Sakib mengajak Nabila pulang kerumah.

Selama perjalanan Nabila mendengarkan keterangan Pak Sakib tentang kondisi perkebunan. Sampai di rumah Nabila masuk ke kamarnya dan membersihkan tubuhnya yang berkeringat selama berjalan kaki tadi. Selesai mandi dan berandan seperlunya, Nabila keluar kamar. Di ruang makan sudah terhidang makanan yang akan disantap.

Mereka bertiga makan pagi sambil bincang bincang. Nabila minta Mak Minah menemaninya untuk ke pasar karena ada yang akan di beli dan membeli bahan bakar mobilnya. Di hari kedua itu Nabila menghabiskan waktunya di desa bersama Mak Sanah dan Pak Sakib. Dari keduanya Nabila mendapatkan banyak pelajaran tentang kehidupan. Kesederhanaan keduanya membuat Nabila semakin mantap menjalani hidupnya. Dalam hati Nabila amat bersyukur telah mendapatkan orang seperti Mak Sanah dan Pak Sakib yang amat bersahaja. Tak salah ayahnya memberikan amanah kepada Pak Sakib.

Malam harinya setelah puas berbincang dan berjalan kesana kemari siangnya, Nabila masuk kamar. Tak lama kemudian disusul Pak Sakib. Nabila menyilahkan Pak Sakib untuk tidur duluan. Ia belum mengantuk dan sedang mengutak atik hpnya untuk menelpon Dicki. Namun beberapa kali ia hubungi nomor hp itu selalu tak aktif. Akhirnya Nabila berusaha menelpon ke rumah Dicki. Dari ibunya Dicki, Nabila mendapat kabar bahwa Dicki baru saja keluar rumah dengan temannya. Nabila terlihat kesal karena malam itu ia ingin berbincang dengan mantan suaminya itu.

Nabila lantas menghempaskan tubuhnya yang saat itu mengenakan baju tidur di samping Pak Sakib. Pak Sakib baru saja akan memejamkan matanya, tapi merasakan hempasan tubuh Nabila matanya tak jadi terpejam.
"Kenapa Neng…bapak lihat kesal sekali?" tanya Pak Sakib
Sambil menggerutu Nabila menerangkan yang menyebabkan dirinya mendumel. Pak Sakib bangun dari berbaring dan duduk sambil menatap Nabila yang saat itu terlihat masih kesal.
"Neng….kan sudah dewasa kenapa tak bisa menahan sedikit emosinya? katanya mau kembali rujuk dengan Dicki, nah sekarang karena telpon nggak diangkat saja sudah mau berantam." terang Pak Sakib.

Nabila hanya diam dan tak menyahut perkataan laki laki tua itu,ia lalu membalikkan tubuhnya membelakangi suami sementaranya.Sambil kembali berbaring Pak Sakib hanya geleng geleng kepala. Tak lama Pak Sakib tertidur, namun Nabila masih belum bisa memejamkan matanya.

Tubuhnya terlihat gelisah dan membalik kiri dan kanan. Kegelisahan Nabila menyebabkan Pak Sakib tak bisa tidur. Pak Sakib lalu duduk memandang Nabila yang masih membelakanginya. Wangi kamar dan lotion yang melekat di tubuh Nabila tercium oleh Pak Sakib. Ia tahu Nabila belum tidur dan ingin membantu istri orang.

"Neng belum tidur,?" sapa Pak Sakib.
Merasa dipanggil laki laki di sampingnya, Nabila membalik tubuhnya menhadap Pak Sakib.
"Ya pak, mata tak mau tidur" jawab Nabila.
Pak Sakib memandang Nabila yang saat itu memakai piyama tidur yang sesuai dengan kulitnya yang putih dan halus. Leher jenjangnya dihiasi kalung mas putih berhiaskan berNengn dengan logo huruf “A". Dari belahan dada Nabila jelas dapat dilihat dengan nyata. Mata Pak Sakib sempat melihatnya namun buru buru ia alihkan pandangan matanya. Naluri kelelakiannya mulai bangkit, namun ia padamkan.


Pak Sakib
Pak Sakib duduk di samping Nabila yang saat itu juga duduk bersandar di dinding ranjangnya. Pak Sakib mengerti kegelisahan Nabila dan untuk menghapuskan kegelisahan wanita muda itu, ia berusaha menghibur Nabila.

Sedikit lelucon dan lawakan dapat membuat Nabila tersenyum dan tertawa. Sesekali karena merasa tak tahan akan kelucuan itu, tak sengaja Nabila mencubit lengan Pak Sakib. Merasa leluconnya bisa membuat Nabila tersenyum Pak Sakib merasa senang. Dan dengan hati hati iapun kedang membalas cubitan Nabila.

Candaan dan gurauan mampu menghilangkan kegundahan Nabila. Tak ragu ragu Nabila merebahkan kepalanya di bahu Pak Sakib. Bagi Pak Sakib sikap Nabila itu membuatnya gugup dan salah tingkah. Namun karena Nabila yang kini sudah tak sungkan sungkan lagi padanya, timbulah keberanian pada diri Pak Sakib. Pak Sakib mulai berani mencubit pipi Nabila karena gemas.

Puas dihibur Pak Sakib, Nabila bisa menghilangkan kegundahannya dan perlahan matanya terpejam. Ia tertidur di bahu Pak Sakib namun laki laki itu tak berani memindahkan kepala Nabila ke bantal.

Ia tak mau mengganggu tidur istri sementaranya itu. Pak Sakib menahan bobot kepala Nabila di dadanya, wangi rambut dan tubuh Nabila tercium di hidung Pak Sakib. Begitu juga saat Nabila menggerakkan tubuhnya tanpa sengaja buah dadanya bersentuhan dengan tangannya. Laki laki itu tak mau dianggap kuarang ajar meski kini status Nabila yah sebagai istrinya.

Namun karena ia sudah berjanji tak akan menyentuh ataupun menuntut haknya pada Nabila. Sebelum ayam jantan berkokok Pak Sakib sudah keluar dari kamar Nabila, sebelumnya tubuh Nabila ditutupi dengan selimut tebal karena hawa dingin pegunungan yang menusuk tulang. Tubuh sintal dan mulus itu sudah aman dari hawa dingin.

Dengan langkah terpincang Pak Sakib membersihkan rumah dan membuka jendela agar hawa pagi masuk ke dalam rumah itu. Tak lama kemudian ia kedapur menyiapkan sarapan pagi bagi Nabila. Mak Sanah belum bangun dan masih di kamar belakang. Sebagai laki laki yang memiliki nafsu dan gairah, kejadian malam bersama Nabila diatas pembaringan masih terbayang di benaknya.

Sangat sulit bagi Pak Sakib untuk menghapus bayangan sosok Nabila yang dulu ia lihat masih anak anak, remaja hingga saat ini sudah jadi wanita dewasa yang cukup matang. Kecantikan dan kehalusan tubuh Nabila sulit ditepisnya seakan ada yang membisikinya agar menuntut haknya sebagai suami pada wannita muda itu. Namun sejauh ini Pak Sakib masih merasa takut. Seharian ia sangat sulit menepis bisikan dan godaan dalam hatinya. Apalagi seharian juga ia menemani Nabila berkeliling perkebunan hingga sampai desa tetangga hanya berdua saja. Perjalanan ini jarang dilakukan Nabila karena ingin memanfaatkan masa cuti kerjanya yang 2 minggu.

Selama berjalan kaki menaiki bukit dan hutan kecil di pebukitan itu, tak jarang Nabila minta Pak Sakib untuk menuntunnya saat turun dari pebukitan. Meski kakinya pincang Pak Sakib tetap bisa menaiki bukit dengan langkah mantap dan tanpa hambatan. Ia mampu mengalahkan langkah Nabila yang sudah kecapaian. Dengan kasihan Pak Sakib berusaha membimbing Nabila agar sampai di desanya kembali.

Sore hari dengan tubuh kecapaian akhirnya mereka sampai di rumah. Hanya beristirahat sejenak, Nabila pun mandi untuk membersihkan keringat yang melekat di tubuhnya. Kini Nabila sudah terlihat segar dan akan makan bersama Pak Sakib dan Mak Sanah. Terpancar keceriaan di wajah Nabila. Masakan Mak Sanah amat lezat dan mampu menambah tenaganya.

Habis makan ia duduk santai di ruang keluarga sambil menghidupkan televisi. Baru beberapa saat televisi ia hidupkan, tiba tiba ia teringat Dicki. Nabila berjalan mengambil telpon dan menelpon Dicki. Beberapa kali ia hubungi selalu dijawab dengan nada tak aktif. Nabila terlihat sewot dan kesal. Ia menghempaskan pinggulnya di sofa ruang keluarga.

Ia tak sempat menutup tubuhnya dengan selimut. Sudah 2 jam lebih Nabila tettidur dengan pulas. Pak Sakib masuk kamar dan mendapati Nabila tertidur tanpa selimut.

Hawa di kamar sangat dingin malam itu. Mata nakal Pak Sakib sempat melihat gundukan payudara Nabila dari balik piyamanya. Amat mulus dan montok, bisik hatinya. Selimut ia tutupkan pada Nabila. Pintu kamar ia kunci dan dengan tertatih Pak Sakib naik ke atas ranjang untuk tidur. Malam menjelang waktu masih menunjukkan pukul 22 lewat lima. Mata Pak Sakib tak mau terpejam.

-Bersambung- Klik Disini Sambungannya...

Tidak ada komentar: